Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memahami Sighat Ta'lik Dalam Pernikahan

 

MUSANEB.ID --- Selain ijab kabul ada ucapan lain yang dibacakan oleh mempelai laki-laki setelah prosesi akad nikah. Ucapan itu dikenal dengan sighat ta'liq talaq. Isinya sebuah perjanjian dari suami tentang jatuhnya talak dengan kondisi tertentu.

Sighat ta'liq talaq sendiri adalah kebijakan khusus Pemerintah Republik Indonesia melalui Maklumat kementerian Agama Nomor 3 Tahun 1953. Jadi aturan ini hanya ada di Indonesia.

Dalam sejarahnya, sighat ta'liq talaq muncul bertujuan melindungi istri dari kesewenang-wenangan suami. Seorang istri dilindungi dengan perjanjian khusus dimana jika sang suami melanggar perjanjian tersebut, sang istri berhak mengajukan gugatan perceraian.

Bunyi lengkap sighat ta'liq talaq terdapat dalam buku nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA), bunyinya seperti ini :

SIGAT TA’LIK

بسم الله الرحمن الرحيم 

Pada hari ini ……….. tanggal …………. Saya ……………. Bin ………… berjanji dengan sepenuh hati bahwa saya akan mempergauli istri saya bernama …………. Binti ………….. dengan baik (mu’asayarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam.

Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sigat ta’lik sebagai berikut :

Apabila saya :

1. Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut.

2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya.

3. Menyakiti badan atau jasmani istri saya; atau

4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,

dan karena perbuatan saya tersebut istri saya tidak rida dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama,maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian istri saya membayar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, jatuhlah talah saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang iwad tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk keperluan ibadah sosial.

Pembacaaan sighat ta'liq talaq masuk dalam peraturan pemerintah yang lebih bersifat muamalah. Pertimbangan yang bisa dipakai adalah berdasarkan kaidah fikih, "menghindari mudharat lebih didahulukan dibanding mengambil manfaat." Allahu a'lam *(MB)