Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAKALAH : MENGENAL AL-QURAN DAN HADITS NABI



PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam ajaran agama Islam tentunya menempati posisi yang signifikan. Mengingat posisinya yang signifikan itu maka diperlukan adanya pemahaman yang komprehensif terkait dengan eksistensi al-Qur’an. Selain al-Qur’an, setiap muslim juga mengenal adanya sumber hukum yang kedua yakni Hadis atau Sunnah, baik Hadis Qudsi maupun Hadis Nabawi.
Keduanya menjadi sumber hukum Islam yang diyakini dan dipedomani oleh seluruh umat muslim. Keduanya memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan di antara keduanya harus diketahui oleh setiap muslim sebagai landasan awal dalam memahami keduanya lebih lanjut. Pemahaman yang baik terhadap keduanya akan mempengaruhi kualitas ibadah dari setiap muslim.
Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk kaum muslim atau suatu kelompok suku tertentu semata, tetapi kehadiarannya juga menjadi rahmat bagi seluruh makhluk. Universalitas kandungan isi al-Qur’an tidak disangsikan lagi, dari zaman dulu hingga sekarang. Al-Qur’an sebagai kitab yang lengkap tentunya dia memiliki kelebihan-kelebihan. Di antara kelebihan-kelebihan al-Qur’an ini adalah adanya nama-nama dan sifat-sifat yang telah dijelaskan oleh Allah swt. dalam padanya.
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab hidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.
B. Rumusan Masalah
Dengan latarbelakang di atas maka penulis membatasi isi makalah ini dalam rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Apa pengertian al-Qur’an dan Hadis Nabi?
2.    Bagaimana perbedaan antara al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi?
3.    Bagaimana al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam?
4.    Hubungan Hadis Nabi dengan al-Qur’an?
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan atau kegunaan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Untuk memahami Apa pengertian al-Qur’an dan Hadis Nabi?
2.    Untuk memahami perbedaan antara al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi?
3.    Untuk memahami Bagaimana al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam?
4.    Untuk memahami hubungan Hadis Nabi dengan al-Qur’an?

PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN HADITS NABI
1.  Pengertian Al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
a.    Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran.[1]
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Umat ini menyakininya sebagai firman-firman Allah swt. yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi terakhir, Muhammad saw., untuk disampaikan kepada umat manusia hingga akhir zaman. Dari segi pengertian bahasa, ulama berbeda pendapat tentang asal kata ‘al-Qur’an’.[2]
 Menurut Manna’ al-Qatthan, qura’a berarti berkumpul dan menghimpun. Qira’ah, menghimpunkan huruf-huruf dan kata-kata itu antara satu sama lain pada waktu membaca al-Qur’an berasal dari qira’ah. Berasal dari kata-kata qara’a, qira’atan, dan qur’aanan.[3] Allah swt. berfirman :
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakannya ikutilah bacaannya itu” (al-Qiyamah: 17-18)[4]
b.   Aspek Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Di antaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an sebagai berikut :
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS. An-Nahl : 89).[5] 
 “Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan” (QS. al-An’am : 38).[6]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertia al-Qur’an adalah Kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia.[7]
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub di antara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Dalam definisi di atas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap muslim.[8]
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca. Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.[9]
Dari beberapa definisi dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur :
1.    Kalamullah.
2.    Dengan perantara malaikat Jibril.
3.    Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
4.    Sebagai mu’jizat.
5.    Ditulis dalam mushaf.
6.    Dinukil secara mutawatir.
7.    Dianggap ibadah orang yang membacanya.
8.    Dimulai dengan surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas.
9.    Sebagai ilmu laduni global.
10. Mencakup segala hakikat kebenaran.[10]


2.  Pengertian Hadits
Sunnah atau hadits artinya adalah cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut istilah bahwa hadis adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa: sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan), Sunnah Taqriryah (ketetapan).[11]

Macam-macam dan pembagian Hadits
Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a. Hadits mutawatir
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang banyak dan tidak mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.Hadits mutawatir dapat dikelompokkan.
1.    Mutawatir lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan  maknanya dari setiap rawi.
2.    Mutawatir maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai lafaz dan makna, akan tetapi didalamnya ada satu bagian yang sama bagian yang sama tujuannya.[12]
b. Hadits ahad
Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tidak kebatasan hadits mutawatir.[13] Hadits ini tidak sampai kederajat mutawatir yaitu Shahih, hasan, dhaif.
Pembagian hadits ahad
1.    Hadits shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dhabith dari orang yang seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat yang memburukkan.[14]
2.    Hadits hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad diriwayatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya, terpelihara dari perjanjian dan bersih dari cacat yang memburukkan.[15]
3.    Hadits dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat hadits shahih dan hasan atau dalam sanadnya ada orang yang bercacat.[16]
B. Perbedaan al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi
Sebelum megemukakan tentang perbedaan antara al-Qur’an dan Hadis Hudsi dan Hadis Nabawi, maka penulis memandang perlu untuk menjelaskan secara sepintas tentang definisi daripada hadis qudsi dan hadis nabawi.
Hadis Qudsi adalah perkataan-perkataan yang disabdakan Nabi saw. dengan mengatakan: “Allah berfirman…’ Nabi menyandarka perkataan itu kepada Allah beliau meriwayatkan dari Allah swt.[17] Menurut Ath Thibi sebagimana dikutip M. Hasbi Ash Shiddieqy bahwa hadis qudsi merupakan titahTuhan yang disampaikan kepad Nabi did lam mimpi atau dengan jalan ilham, lalu Nabi menerangkan apa yang dimimpikannya itu, dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyandarkan kepada Allah. Hadis qudsi juga dsebut hadis ilahi dan hadis rabbany.[18]
Kata hadis atau al-hadis secara terminology, para ahli berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadis, terutama ahli hadis ahli ushul. Ahli hadis mendefenisikan hadis dengan “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau, dan segala keaadan beliau”.[19] Utang Ranuwijaya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hal ihwal atau keadaan di sini adalah segala pemberitaan tentang Nabi saw., seperti yang berkaitann dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebisaan-kebisaannya. Dari sini sehingga ahli hadis memberikan pengertian bahwa hadis adalah segala ucapan, perkataan, keadaan atau perilaku Nabi saw.[20]
1. Perbedaan al-Qur’an dengan Hadis Qudsi
a. Al-Qur’an al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang; sedang Hadis Qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mu’jizat.
b. Al-Qur’an al-Karim hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan: Allah Ta’ala telah berfirman. Sedang Hadis Qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah; sehingga nisbah Hadis Qudsi itu merupakan nisbah buatan.
c. Seluruh isi Al-Qur’an al-Karim dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang Hadis Qudsi kebanyakan adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalany Hadis Qudsi itu sahih, terkadang hasan (baik) dan terkadag dhoif (lemah).
d. Al-Qur’an al-Karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Sedang Hadis Qudsi maknanya sja yang dari Allah, sedang lafalnya dari Rasulullah saw.
e. Membaca al-Qur’an al-Karim merupakan ibadah; karena itu ia dibaca di dalam sholat; sedang Hadis Qudsi tidak disuruh membacanya dalam sholat.[21]  Hal ini sesuai dengan bunyi hadis :
من قرأ حر فا من كتا الله تعا لى فله حسنة، والحسنة بعشر أمثالها، لاأقول ألم حرف، ولكن ألف حرف، ولام حرف، وميم حرف.)رواه الترمذى(
Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim, itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf”.[22]
2. Perbedaan Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadis Nabawi itu ada dua:
Tauqifi. Yang bersifat tauqifi, yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segia pembicaran lebih banyak dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
Taufiqi. Yang bersifat taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya terhadap al-Qur’an, karena ia mempunyai tugas menjelaskan al-Qur’an atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu bila benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelas bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang dikui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Dan inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw.:
 “Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadaya.” (QS. An-Najm : 3-4).
 Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui salah satu cara penurunan wahyu; sedang lafalnya dari Rasulullah saw. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah Ta’ala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dengan al-Qur’an; dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pula dianggap ibadah.[23] Demikianlah beberapa perbedaan di antara keduanya.
C.  Al-Qur’an dan Hadits Nabi Sebagai Sumber Ajaran Islam
Tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang Alquran itu sebagai Argumentasi yang kuat bagi mereka dan bahwa ia serta hukum-hukum yang wajib ditaati itu datang dari sisi Allah.
Sebagai bukti bahwa Alquran itu datang dari sisi Allah ialah ketidaksanggupan orang-orang membuat tandingannya, biar mereka itu adalah sastrawan sekalipun.
Ketika Rasulullah Saw berada di Makkah, beliau diperintahkan oleh Allah agar menjelaskan kepada orang banyak perihal Alquran dan bahwa ia adalah diluar batas kemampuan manusia.

Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".

Tetapi orang-orang kafir melancarkan tuduhan kepada Nabi Muhammad bahwa beliaulah yang membuat Alquran itu. Kemudian Allah memerintahkan menantang mereka dalam firmanNya;
Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."[24]

Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Quran dapat dibagi tiga macam.
1.    Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ushuluddin”.
2.    Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”.
3.    Hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesame manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan “ilmu Akhlak”.[25]

Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah), ulama tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an dalam menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu.  Kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan golongan Syiah yang tidak mengakui semua hadits yang dipandang sah oleh golongan ahlu sunnah sebab mereka hanya mengakui sahnya suatu hadits atau khabar kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli hadits mereka sendiri. Berbeda dengan ahli zahir mereka masih dapat menerimanya selama hadits itu sah menurut kriteria ilmu hadits.
Kehujjahan sunnah berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw., diantaranya:

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.(QS.Al-hasyr:7)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), (QS. An-Nisa: 59).
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa: 80).
D. Hubungan Hadits Nabi Dengan Al-Qur’an
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.[26]
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dari Alquran.
Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
a.    Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Alquran.
b.    Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.
c.    Menciptakan hukum baru yang  tiada terdapat didalam Alquran.


KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka penulis mengambil konklusi sebagai berikut :
a)    Al-Qur’an adalah Kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia.
b)    Perbedaan mendasar dari al-Qur’an, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi adalah terletak pada posisi makna dan lafal. Al-Qur’an dan Hadis Qudsi, keduanya memiliki makna yang dinisbahkan kepada Allah secara mutlak, sedang Hadis Nabawi penyandarannya kepada Rasulullah saw.
c)    Alquran itu sebagai Argumentasi yang kuat bagi kaum muslimin dan bahwa ia serta hukum-hukum yang wajib ditaati itu datang dari sisi Allah. Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah), ulama tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an dalam menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu.
d)    Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni: Pertama, Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Alquran. Kedua, Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran. Ketiga, Menciptakan hukum baru yang  tiada terdapat didalam Alquran.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad, dan Mudzakir M.. Ulumul Hadis. Cet. X; Bandung: [t.p]., 2000.
Al-Amidi,  Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam. Muassasah Al-Halaby: Kairo, t.th.
al-Qatthan, Khalil Manna. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. oleh Mudzakir. [t.t.] [t.p.] [t.th].
al-Qatthan, Khalil Manna’. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Halimuddin, Pembahasan Ilmu al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Arifin, Miftahul, Kaidah-Kaidah Penetepan Hukum Islam.—Cet.1. Surabaya: Citra Media, 1997
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet.IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Ash-Shabuni, M. Ali. Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-Arshad, t.t.
Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, -Ed.1. Cet.4, Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2003
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya Utama, 2005.
DEPDIKNAS. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I, Ed. IV; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Hamzah, Muchotob. Studi Al-Qur’an Komprehensif. t.t. Gama Media, 2003.
M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh,-Ed.1. Cet.2, Jakarta: Kencana, 2008.
Mardan. Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh. Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.
Saleh, Subhi. Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah: Mesir, 1404H.


[1]Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Muassasah Ar-Risalah: Mesir, 1404H), hlm. 19
[2]Lihat selengkapnya Mardan, Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2009), hlm. 27.
[3]Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, Terj. oleh  Halimuddin dengan judul Pembahasan Ilmu al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm. 11.
[4]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Karya Utama, 2005), hlm. 854.
[5] Ibid., hlm. 377.
[6] Ibid., hlm. 177.
[7]DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. I, Ed. IV; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 44.
[8]Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, (Muassasah Al-Halaby: Kairo, t.th.), hlm. 147-148.
[9] M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, (Dar Al-Arshad: Beirut, t.t.), hlm. 10.
[10] Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif, (t.t. Gama Media, 2003), hlm.1-2
[11]Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, --Ed. 1. Cet. 4.—Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2003, hlm. 40.
[12] Ibid., hlm. 41.
[13] Satria effendi. M. Zein, Ushul Fiqh, --Ed. 1. Cet. 2. – Jakarta: PT Kencana, 2008. hlm. 118.
[14] Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh,.. hlm. 42.
[15] Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh,.. hlm. 42.
[16] Ibid., hlm. 43.
[17]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 40.
[18] Ibid., hlm. 41.
[19] Ibid., hlm. 22.
[20]Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Cet. X; Bandung: [t.p]., 2000), hlm. 11.

[21]Manna Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj. oleh Mudzakir, [t.t.] [t.p.] [t.th], hlm. 26-27.
[22]Diriwayatkan oleh Tirmizi dari Ibn Mas’ud; yang mengatakan hadis itu hasan dan sahih.
[23]Manna Khalil al-Qatthan, op. cit., hlm. 28-29.
[24]Miftahul Arifin, kaidah-kaidah penetepan hukum Islam.—Cet.1. Surabaya: Citra Media, 1997. hlm. 81-83.

[25] Amir syarifuddin, ushul fiqh,.. hlm. 69.
[26] Manna Khalil al-Qatthan, op. cit., hlm. 30